Gagal Masuk Akpol dan Tolak Tawaran Freeport

Tawakkal/Fajar
SANTAI. Khadafi Ende Putra saat membaca buku di perpustakaan redaksi Harian FAJAR, Minggu, 14 Agustus.
SANTAI. Khadafi Ende Putra saat membaca buku di perpustakaan redaksi Harian FAJAR, Minggu, 14 Agustus.
Laporan: Sri S Syam, Makassar
TAK pernah terbayang di benak remaja berbadan tegap ini. Usahanya
mengejar cita-citanya menjadi sarjana elektro dan bersekolah di luar
negeri kini selangkah lagi akan digapai.
Kemahirannya berhitung dengan rumus-rumus fisika dan matematika, membawa
Khadafi Ende Putra menembus ketatnya persaingan meraih beasiswa dari
pemerintah Jepang. Pemuda kelahiran 12 Februari 1992 ini berada di
urutan 19 dari 26 nama pelajar dari seluruh Indonesia yang lulus dalam
beasiswa program D3 Monbukagakusho.
Beasiswa ini memang diberikan hanya kepada mereka yang berprestasi dari seluruh dunia.
Di redaksi FAJAR, Minggu, 14 Agustus, anak kedua dari lima
bersaudara pasangan Robby Ende dan Harnetilanip menceritakan
pengalamannya mengikuti program beasiswa tersebut.
Sebelum mengikuti beasiswa Monbukagakusho, Khadafi mengaku telah
tahu tantang seluk beluk beasiswa dari kakak kelasnya di Sekolah
Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Tinggimoncong, Kabupaten Gowa. Sebelumnya,
tujuh orang siswa asal sekolah ini telah menjadi ‘alumni’ program
beasiswa asal negeri Sakura itu.
"Saya tahu beasiswa tersebut sejak kelas satu SMA, jadi persiapan
jauh lebih matang. Alhamdulillah tahun ini saya lulus, " ucapnya haru.
Dalam mengikuti program beasiswa ini, ada dua mata pelajaran yang
harus diujikan yaitu, Matematika dan Fisika. Bersyukur, Khadafi sangat
mahir dengan kedua mata pelajaran tersebut, bahkan ia yang pernah
mendapat ‘beasiswa’ dari Rannu Prima College – salah satu lembaga
bimbingan belajar di Makassar -- adalah guru privat matematika sejumlah
siswa.
"Banyak rekan yang sering meminta saya mengajar matematika,
terutama yang akan ujian masuk sekolah tinggi negeri, dan juga sejumlah
orang pejabat yang minta anaknya diajar secara privat," ungkapnya.
Karena pergaulannya yang luas, dan banyaknya anak didiknya
yang telah berhasil, Khadafi pernah diajak untuk bekerja di perusahaan
tambang emas dunia, Freeport. Tapi tawaran itu ditolaknya dengan alas
an, Ia belum mau bekerja sebelum jadi sarjana. “Kalau kerja di sana dan
belum sarjana, pasti suatu saat posisi kita akan mentok. Tentu beda
kalau sudah sarjana.
Untuk mendapatkan beasiswa dari Jepang, bukanlah perkara mudah.
Khadafi harus berusaha mati-matian dan mempermahir dua mata pelajaran
yang diujikan (Matematika dan Fisika, Red). Bahkan dirinya harus jadi
pelanggan warung internet (warnet) untuk mengurusi segala kelengkapan
beasiswa.
“Saya hampir tiap hari ke warnet. Soalnya semuanya melalui sistem
on line. Kalau untuk Matematika dan fisika, saya belajar secara
otodidak, trik saya yakni mengenali induknya, akar dari terbentuknya
rumus," urai pemuda yang mengaku tertarik dengan Jepang karena
perkembangan teknologinya.
Sebelum mengikuti beasiswa Monbukagakusho, Khadafi mengaku juga
pernah mengikuti beasiswa Mitsui Jepang, Sayang, di beasiswa ini,
Khadafi tidak lulus, tetapi pengalamannya justru menjadi bekalnya
menghadapi beasiswa D3 Monbukagakusho.
"Waktu mengikuti beasiswa Mitsui saya harus bolak-balik ke Jakarta, padahal saya tidak punya biaya,” ujarnya.
Beruntung, orang tuanya yang jualan bunga belum membayar kontrak
rumahnya, sehingga uang yang mestinya dipakai memperpanjang kontrakan
rumahnya dipakai untuk beli tiket ke Jakarta.
Pada perjalanan keduanya ke Jakarta, nasib baik juga terbuka
ketika seorang kakak kelasnya, Muh Ramli Rahim yang menjadi direktur di
salah satu lembaga pendidikan di Makassar membantu membelikannya tiket
pesawat ke ibu kota. Bukan hanya itu, rezeki dari seorang penumpang
yang tidak dikenalnya di pesawat memberinya uang untuk dibelikan untuk
pulang ke Makassar. “Orang itu terharu mendengar perjuangan saya untuk
menempuh pendidikan," kenang Khadafi.
Meski gagal pada beasiswa Mitsui Jepang, alumni SMA Negeri 2 Tinggi
Moncong 2009 ini tidak patah arang. Ia terus berusaha, apalagi kedua
orang tuanya yang berprofesi sebagai pedagang bunga tersebut sangat
mendukung cita-cita anaknya.
Khadafi termasuk anak yang pantang menyerah. Selepas SMA,
anak yang masih punya keturunan Tionghoa ini pernah mendaftar di Akademi
Kepolisian (Akpol), namun pada tahap seleksi pantauan akhir (pantohir)
Ia gagal.
"Saya tahu keluarga saya tidak mampu, makanya saya berusaha agar
menjadi orang yang sukses. Saya telah terbiasa hidup susah sejak kecil,
saya bahkan pernah menjadi buruh di Pelabuhan Makassar, menjajakan kue
di jalan dan lainnya. Saat ini saya juga masih aktif membantu orang tua
menjual bunga," terangnya.
Prinsipnya hidupnya sangat sederhana; hidup ini tidak selalu seperti yang kita inginkan, Tetapi Hidup ini selalu menjadi seperti yang kita jalani. Ke depan, dia berjanji akan pulang dan membangun Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya hingga magister. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar